Rajawalitv.net.Jakarta - Alih-alih menyelesaikan masalah sampah, ambisi pemerintah menjadikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) sebagai solusi nasional setelah banyaknya pelaksanaan yang dinilai gagal di berbagai daerah, mulai dari Bali, Bekasi, Solo hingga Tangerang, kini mendapat sorotan tajam dari banyak pihak.
Pemerintah menyiapkan subsidi hingga Rp300 triliun untuk 33 Proyek PSEL yang digagas oleh Danantara Group, dituding beberapa pihak beresiko pada pemborosan APBN, lingkungan, hingga dugaan penyimpangan tata kelola, dengan nilai investasi mencapai Rp 3,2 triliun rupiah per kota atau lokasi, nantinya di kawatirkan proyek ini akan menjadi beban bagi pemerintah daerah.
Pola Kegagalan di banyak daerah, sejumlah investigasi media dan laporan lembaga masyarakat menunjukkan adanya pola kegagalan berulang pada proyek PSEL, diantaranya perencanaan yang lemah, pengawasan minim, dan ketergantungan terhadap teknologi pembakaran impor yang mahal dan tidak efisien.
Laporan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) tahun 2021 menyoroti proyek PSEL di Bali yang justru menimbulkan residu abu beracun dan ancaman kesehatan bagi warga sekitar.
"Pemerintah keliru menjadikan pembakaran sampah sebagai solusi utama. Akar masalahnya ada pada pengurangan dan pemilahan dari sumber,” tegas perwakilan AZWI kala itu.
Sementara di Bekasi, riset yang dikutip menyebut proyek PSEL terancam gagal karena lemahnya tata kelola dan minimnya transparansi.
Di Solo, proyek PSEL Putri Cempo yang menjadi program prioritas pada masa kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka juga disebut gagal total. Target produksi listrik sebesar 5 Megawatt tak tercapai, operator proyek bahkan dilaporkan terkena denda dan diduga melakukan lobi untuk mengubah isi MoU agar terhindar dari penalti.
Sorotan publik semakin tajam setelah Berita Bali (4 November 2025) melaporkan potensi bahaya emisi gas beracun dan dampak kesehatan jangka panjang dari sistem pembakaran yang digunakan di sejumlah proyek PSEL.
Pemerhati lingkungan pun menyerukan agar pemerintah mengubah arah kebijakan menuju model ekonomi sirkular dengan fokus pada pemilahan dari sumber, komposting, dan penguatan bank sampah.
Kegagalan juga terjadi di Kota Tangerang. Berdasarkan laporan 29 Oktober 2025, proyek PSEL di wilayah tersebut resmi dihentikan karena dianggap tidak efisien dan mendapat penolakan dari masyarakat.
Pemerintah daerah kemudian mengalihkan pengelolaan ke skema RDF (Refuse Derived Fuel) berbasis regional, yang dinilai lebih realistis serta sesuai dengan kapasitas fiskal daerah.
Menanggapi deretan kegagalan itu, Ketua Badan Pemantau dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (BP2 TIPIKOR), Agustinus Petrus Gultom, mendesak pemerintah melakukan evaluasi total terhadap seluruh proyek nasional PSEL yang menelan dana yang sangat besar.
“Faktanya, PSEL tidak efisien, tidak ramah lingkungan, dan cenderung akan menjadi beban bagi daerah. Kami menduga ada potensi penyimpangan dalam proses tender, pelaksanaannya dan kerja sama investasi,” tegas Agustinus di Jakarta, Pada Hari Rabu (12/11/2025).
Lembaga Aliansi Indonesia BP2 TIPIKOR & Media Aktivis Indonesia juga mengingatkan adanya indikasi penyalahgunaan anggaran di beberapa daerah serta menekankan perlunya audit menyeluruh terhadap kontrak kerja sama antara pemerintah daerah dan pihak swasta.
“PSEL seakan proyek yang dipaksakan, bahkan bisa disebut proyek siluman. Jika tidak diawasi, proyek ini berpotensi menjadi ladang korupsi yang merugikan keuangan negara. Kami mendesak Presiden Prabowo untuk mengevaluasi ulang proyek ini dan mengganti dengan metode yang lebih ramah lingkungan serta menguntungkan daerah,” ujarnya.
Agustinus Petrus Gultom mendorong pemerintah pusat seharusnya berfokus pada pengembangan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel), yang sudah berhasil dilaksanakan di Rorotan milik Pemprov DKI Jakarta, yakni sistem pengolahan sampah menjadi bahan bakar padat yang dibutuhkan industri semen dan PLTU.
“RDF Rorotan telah sukses mengelola sampah dengan kapasitas 2500 ton per hari. Jakarta sebagai penghasil sampah terbesar telah sukses menjual hasil RDF ke PT Indocement. Nilai ekonominya tinggi, efisiensinya jelas, bahkan memberikan PAD tanpa membebani APBD atau APBN,” katanya.
Sebaliknya, menurut Agustinus, proyek PSEL tidak memiliki nilai ekonomi nyata. Ia bahkan menyoroti rencana pemerintah yang dinilai tidak masuk akal dan terkesan coba-coba, yang bisa berpotensi membebani keuangan daerah ke depan.
“PSEL ini seperti proyek siluman, sarang pemborosan anggaran dan terkesan dipaksakan. Angka sebesar itu layak diaudit secara nasional. Jangan sampai proyek gagal ini justru menjadi pintu baru kebocoran anggaran,” tutup Agustinus Petrus Gultom.
Reporter : Redaksi