Rajawalitv.net.Jakarta, Perkumpulan Harapan Keluarga Antar Negara (HAKAN) menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lebih inklusif, adaptif, dan berkeadilan sosial. Upaya ini diwujudkan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan Mendorong Indonesia Emas 2045,” yang dilaksanakan di Aula Club House Bukit Podomoro, Klender, Jakarta Timur, Kamis (6/11/2025).
Kegiatan tersebut menjadi forum strategis bagi para pemangku kebijakan, akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyatukan pandangan dalam mendorong reformasi kebijakan kewarganegaraan Indonesia agar lebih responsif terhadap dinamika global, sekaligus memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan semangat nasionalisme.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum DPP HAKAN, Analia Trisna, MM kepada awam media menyampaikan bahwa perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran serta anak-anak hasil perkawinan lintas negara yang selama ini menghadapi banyak hambatan administratif, hak dan kepastian hukum.
“Negara harus hadir memberikan kepastian hukum bagi setiap anak bangsa, termasuk mereka yang lahir dari keluarga lintas negara. Semangatnya tetap satu, menjunjung tinggi merah putih, sambil membuka ruang adaptif bagi generasi global Indonesia,” ujar Analia.
Sementara itu, Ketua Hakan Provinsi Bali yang juga Ketua Bidang Hukum Hakan, Melany Dian R, SH,, MH., CLA menjelaskan bahwa HAKAN telah menjadi jembatan aspirasi dan advokasi bagi keluarga antar negara yang tersebar di berbagai daerah maupun luar negeri. Dengan anggota lebih dari 10.000 di dalam dan luar negeri. HAKAN terus memperjuangkan prinsip ‘One Nationality, Multiple Facilities’, satu kewarganegaraan Indonesia dengan dukungan fasilitas yang relevan dengan kebutuhan global.
Kondisi tersebut menurutnya sering menimbulkan kekosongan hukum (legal vacuum) yang berdampak langsung pada ribuan anak hasil perkawinan campuran, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karena itu, HAKAN mendorong agar revisi Undang-Undang Kewarganegaraan nantinya benar-benar mampu menghapus diskriminasi dan menghadirkan sistem hukum yang humanis serta berkeadilan sosial.
"FGD ini juga menjadi langkah konkret untuk memperkuat sinergi antara Komisi XIII DPR RI, Kemenkumham, KemenHAM, Kemendagri, serta lembaga-lembaga lain seperti Komnas HAM dan KPAI, dalam menyusun kebijakan kewarganegaraan yang komprehensif dan adaptif terhadap kebutuhan zaman," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Salsa (22), Ibu WNI, ayah WNA - Alzaria, sudah hampir 2 tahun terus berjuang dengan rasa kecewa karena proses PP 21, untuk memperoleh hak kembali WNI yang terkendala salah satu persyaratan yaitu harus melepas status kewarganegaraan asing nya.
"Saya ingatkan ya pak, saya lahir dan besar di Indonesia, salah satu persyaratan saya di tolak karena harus pelepasan WNA sejak 2023. Sampai sekarang tidak ada kepastian, namun saya sabar dan perlu saya ingatkan saya berjuang bukan untuk saya sendiri, masih banyak anak yang mengalami nasib yang sama seperti saya," jelas Salsa merasa kecewa.
Diskusi ini difokuskan pada mekanisme transisi hukum bagi anak hasil perkawinan campuran yang telah berusia di atas 21 tahun, serta penyesuaian status hukum bagi warga keturunan Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan akibat peraturan lama.
Hasil dari FGD ini akan dirangkum dalam policy brief dan rekomendasi nasional yang akan diserahkan langsung kepada Komisi XIII DPR RI, Kemenkumham, dan KemenHAM RI, sebagai bahan penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan Baru yang ditargetkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2029.
Sebagai tindak lanjut, HAKAN akan membentuk Tim Advokasi Reformasi Hukum Kewarganegaraan Lintas Lembaga, yang terdiri dari unsur DPR RI, kementerian, akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil. Tim ini akan fokus menyusun rancangan regulasi dan mekanisme perlindungan hukum yang lebih kuat bagi keluarga antar negara dan diaspora Indonesia.
Besar harapan, FGD ini bukan sekadar wacana, tetapi langkah awal untuk menghadirkan sistem hukum kewarganegaraan yang inklusif, adil, dan relevan dengan realitas global. Hakan ingin memastikan setiap anak Indonesia, di mana pun dia berada, tetap memiliki tempat dan perlindungan di tanah airnya.
Kendala pasangan WNI-WNA selain perbedaan prosedur antar negara yang menyulitkan pengesahan dokumen. Tidak bisa memiliki harta bersama (tanah, rumah) tanpa perjanjian pisah harta, belum lagi bila anak menjadi WNA kehilangan hak tinggal, berkerja dan bisa kehilangan fasilitas pendidikan domestik di negara asing, termaksud tidak diakui sebagai anak bangsa di Indonesia karena proses naturalisasi umum padahal mesti berketurunan Indonesia tulang.
Masalah yang dialami anak dari hasil perkawinan campuran saat usia 21 tahun diantaranya wajib memilih kewarganegaraan, setelah anak memilih kewarganegaraan di luar negeri dapat diderpotasi dari Indonesia, mesti seluruh keluarganya di Indonesia. Anak yang berstatus WNA tidak dapat mewarisi tanah milik orangtua dan tidak dapat memiliki dan mewarisi usaha.
Dalam acara FGD ini, Dr. Widodo, S.H., M.H., Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI, hadir sebagai keynote speaker. Ia akan membahas pentingnya harmonisasi regulasi kewarganegaraan agar selaras dengan arus mobilitas global warga negara Indonesia.
Hadir juga sejumlah tokoh nasional juga menjadi narasumber dan memberikan pandangan strategis, antara lain Prof. Rokhmin Dahuri – Anggota DPR RI, Sugiat Santoso, S.E., M.SP. – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Prof. Asep Saefuddin – Guru Besar IPB University, Dulyono, S.H., M.H. – Direktur Tata Negara, Kemenkumham RI, Jaya Saputra, S.H., M.H. – Direktur Izin Tinggal dan Status Keimigrasian, Muhammad Farid, S.STP., M.Si. – Direktur Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil, Kemendagri, Dr. Nikolas Simanjuntak, S.H., M.H. – Ketua Bidang Kajian Hukum DPN PERADI, Ajib Hamdani – Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Agustinus Petus Gultom, SH - Aktivis dan Perwakilan Lembaga Aliansi Indonesia, Dan Para Lawyer dan Praktisi Hukum
Para narasumber menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi keluarga antar negara, mulai dari kebijakan batas usia 21 tahun dalam pemilihan kewarganegaraan, kesulitan memperoleh izin tinggal dan hak bekerja, hingga keterbatasan akses terhadap pendidikan, layanan publik dan hak atas harta dan usaha dari orangtuanya.
( Redaksi )