BP2 TIPIKOR Tuding Proyek 33 PSEL Rp300 T Pemborosan APBN

Rajawalitv.net.Jakarta, Ambisi pemerintah melalui Danantara Grup untuk menjadikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) sebagai solusi strategis nasional kini menghadapi gelombang kritik dan kecurigaan publik. Di tengah sorotan terhadap inefisiensi proyek bernilai Rp 3,2 triliun per kota atau per lokasi, berpotensi adanya penyimpangan dan korupsi dalam pelaksanaan di sejumlah daerah.


Jauh sebelumnya, dengan pengolahan sampah yang serupa di TPST Bantar Gebang, Bekasi, proyek yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan pengelolaan sampah modern ini justru menjadi cerminan gagalnya tata kelola dan lemahnya pengawasan antara pemerintah dan mitra swasta.


Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang pernah mencuat. Salah satu perusahaan yang disebut dalam pusaran kasus tersebut adalah PT Godang Tua Jaya (GTJ), operator yang sebelumnya dipercaya mengelola fasilitas pengolahan sampah di kawasan strategis milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut.


Informasi yang beredar luas di media, termasuk laporan CNN Indonesia dan BeritaSatu, menyebutkan bahwa PT Godang Tua Jaya diduga melakukan penyimpangan anggaran dan gagal merealisasikan target proyek pengolahan sampah.


Proyek itu semula diharapkan mampu menghasilkan gas metana dan listrik melalui sistem gasifikasi anaerobic digestion, namun implementasinya jauh dari harapan. Dari target 26 megawatt (MW) energi listrik yang dijanjikan, perusahaan tersebut hanya mampu memproduksi sekitar 2,5 MW, atau kurang dari 10 persen dari target yang disepakati dalam kontrak kerja sama.


Kegagalan ini juga memicu dugaan wanprestasi dan potensi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana operasional serta biaya pengangkutan sampah. Beberapa laporan bahkan menyebut, aparat penegak hukum telah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak, termasuk mantan pejabat perusahaan yang diduga terkait langsung dengan penyimpangan tersebut.


Kegagalan proyek di Bantar Gebang ternyata bukan satu-satunya.
Dari Bali, Solo, Tangerang hingga Bekasi, pola permasalahan serupa muncul: target tidak tercapai, biaya membengkak, dan penolakan publik meningkat.


Di Bali, hasil kajian Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menunjukkan bahwa teknologi insinerasi yang digunakan PSEL menimbulkan residu abu beracun dan ancaman kesehatan masyarakat.


Di Solo, proyek PSEL Putri Cempo yang menjadi prioritas nasional justru gagal menghasilkan listrik sesuai target 5 MW, dan operator proyek dikenai denda serta diduga melakukan lobi politik untuk mengubah isi MoU.


Di Tangerang, proyek bahkan dihentikan total karena dinilai tidak efisien dan tidak mendapat dukungan masyarakat. Dan di Bekasi, pengelolaan sampah terancam gagal akibat lemahnya tata kelola dan tumpang tindih kepentingan antarinstansi.


Menanggapi rangkaian kegagalan tersebut, Ketua BP2 TIPIKOR, Agustinus Petrus Gultom, menegaskan perlunya evaluasi total terhadap seluruh proyek PSEL di Indonesia. Menurutnya, proyek ini telah menunjukkan banyak tanda bahaya, dari pemborosan anggaran, lemahnya akuntabilitas, hingga potensi penyimpangan dalam proses tender dan kemitraan swasta.


“Faktanya, di berbagai daerah proyek PSEL tidak berjalan efisien dan menimbulkan masalah baru. Kami menduga ada pola penyimpangan sistematis, dan pemerintah harus berani membuka semua data kontrak serta audit keuangan proyek-proyek tersebut,” tegas Agustinus di Jakarta, Selasa (11/11/2025).


Agustinus menambahkan, proyek PSEL seperti dipaksakan, padahal masih ada solusi lain seperti RDF yang sudah berjalan dan memberikan kontribusi untuk pemerintah dan menjadi solusi berkelanjutan, bukan sekadar proyek mercusuar untuk kepentingan politik atau bisnis jangka pendek.


“PSEL seakan dipaksakan dan seperti Proyek ugal-ugalan. Ini seperti proyek pembodohan publik, jika tidak diawasi dengan ketat, proyek PSEL berpotensi menjadi lahan korupsi yang merugikan keuangan negara. Kami mendesak Presiden Prabowo mengevaluasi ulang Proyek PSEL dan mengganti dengan metode yang lebih menguntungkan tentunya ramah lingkungan,” tegasnya.


Agustinus menambahkan, pemerintah harusnya berfokus pada pengembangan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel), sistem pengolahan sampah menjadi bahan bakar padat yang dibutuhkan industri semen dan PLTU, yang sudah terbukti manfaatnya.


“Jakarta kota penghasil sampah terbesar, RDF nya justru menghasilkan revenue. DKI Jakarta sudah sukses menjual hasil RDF ke PT Indocement. Nilai ekonominya tinggi, efisiensinya jelas, memberikan PAD dan tidak membebani APBD dan APBN,” ujarnya.


Sebaliknya, lanjut Agustinus, program PSEL tidak memiliki nilai ekonomi. Pemerintah bahkan disebut menyiapkan subsidi hingga Rp300 triliun untuk 33 Proyek PSEL yang digagas oleh Danantara Group, angka yang dinilainya tidak masuk akal, layak dipertanyakan atau di audit secara nasional dan kedepannya bisa saja membebankan APBD setempat.

Reporter : Redaksi